Usia perempuan itu tak lagi muda, bahkan telah melewati dari sepertiga abad. Namun cinta dan kasih sayang yang ia curahkan tak pernah berubah. Telah ratusan hingga ribuan hari telah ia lalui, namun jemari itu seakan tak mengenal lelah, mengusap kepala sang buah hati manakala akan mengantarkannya ke alam mimpi. Tak hanya itu badannya yang telah rapuh di makan usia, tak henti-heninya memberikan kehangatan walau cuma sebuah dekapan kasih sayang.
”Nyenyakkanlah tidur kalian malam ini. Biar dirimu kuat esok hari,”
”Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok hari,”
”Untuk itu, mintahlah kalian dalam doa Sang Ilahi Rabbi untuk diberi kekuatan di esok harinya,” Pengantar tidur yang tak pernah lupa disampaikan perempuan paruh baya itu untuk ketiga buah hatinya Ahmad, Rini serta si Ami si bungsu pada tiap malamnya.
”Iya, Bunda,” sahut Rini dan Ami. Maka serta merta pula bibir mungil kedua bocah pun melantunkan doa tidur. Sedangkan Ahmad, putra sulungnya sudah terlelap terlebih dahulu.
Setelah merasa yakin bahwa ketiga buah hatinya tertidur pulas dalam balutan hangat doa dan mimpi yang menemani. Perempuan kelahiran Pulau Garam ini, perlahan-lahan mulai melangkah pergi hingga kakinya pun terhenti pada sebuah meja di salah satu sudut rumahnya. Setelah lama terpaku diam dan cukup lama berdiri, ia sandarkan badannya pada sebuah kursi tua yang tak berada jauh dari meja makan itu.
Lama perempuan itu mematung bahkan tanpa disadari, air mata Tutik, Ibu dari Ahmad, Rini dan Ami terjatuh membasahi keduanya pipinya yang telah keriput dimakan usia. Pikiran Ibu dari ketiga anak itu pun semakin kalut, tak kuasa menahan badai masalah yang menghujani dirinya tiada henti. Di tengah pasang surutnya perekonomian rumah tangga yang Tutik bangun bersama pria yang dipilihnya untuk dijadikan sandaran hidup berbagi keluh kesah, pergi meninggalkan dirinya dan ketiga permata hatinya. Disisi lain, keluarga besar Tutik menuntut rumah tangga yang dibina bersama Mohammad Idris suaminya, harus sederajat dengan sanak family yang telah mapan perekonomiannya.
Walau malam tak lagi bersahabat, karena dinginnya udara semakin menusuk rusuk tulang akan tetapi pikiran perempuan itu terus berkelana, mengira-ngira keberadaan sang imamnya kini. Karena disaat seperti ini, Tutik sangat membutuhkan imamnya untuk mendampingi dirinya menghadapi ujian hidup.
”Masih ingatkah, dirimu Mas dengan ketiga cinta kita,”
“Tak hanya aku yang merindukanmu, mereka juga sering menanyakan keberadaanmu,”
”Bukan hanya materi yang mereka butuhkan, tapi nafkah batiniyah yang seharsnya kamu penuhi pada mereka,”teriak Tutik dalam hatinya.
Sudah kesekian kalinya, kalimat itu terlontar dari bibir merah Tutik, di setiap malam – malamnya tak terkecuali malam ini. Serentetan kalimat yang mewakili kerisauan hatinya. Tak kuasa menahan, hingga air mata yang menjadi obat pelipur lara pun semakin deras mengalir. Batinnya terluka, begitu pula raganya, jenuh memikirkan kondisi rumah tangganya. Lamunan Tutik pun serta merta mengantarkannya untuk mengingatkan kembali akan kata – kata yang dilontarkan suaminya, Idris. Sesaat sebelum lelaki berkulit sawo matang itu benar – benar pergi mengikuti nafsu duniawinya.
”Aku akan buktikan pada keluarga besarmu, bahwa kita juga bisa hidup layak seperti yang lain. Apapun caranya,” ucap pria asal Kota Pahlawan itu.
”Termasuk berjudi?”
”Istighfar Mas, jangan sampai dirimu melangkah di jalan yang tidak diridhai Ilahi,”
”Tegakah dirimu, menafkahi anak dan istrimu dengan barang yang haram?” tanya tutik, seraya mengingatkan sang imam bahwa dirinya telah keliru mengambil jalan.
”Sudahlah, tahu apa dirimu tentang semua itu,”
”Yang terpenting segala kebutuhanmu, sudah aku penuhi,”
”Jaga anak – anak dengan baik, aku pergi dulu,” sanggah pria yang kini telah genap berkepala lima.
Terasa sesak dada Tutik, serasa ada ribuan jarum yang menghujani tubuhnya kala itu. Hatinya sakit, kecewa, sedih, marah, luka, terhina serta ribuan kata kesedihan bersemayam didalamnya. Tutik merasa lelaki yang dicintainya telah berubah 180 derajat. Semasa muda lelaki asal Jawa itu, termasuk remaja yang taat terhadap agama. Perangai dan perilakunya pun tak lepas dari Al Quran dan As Sunnah. Karena itu pulalah, yang menjadi alasan Tutik menerima pinangan Mohammad Idris, yang kini telah menjadi imamnya.
”Aku kira dengan perangai dan lelakumu yang taat pada agama sewaktu dulu, dapat mengantarkanku untuk membina keluarga yang sakinah.
”Ternyata aku salah menilaimu. Justru dirimulah yang menyeret diri ini ke lembah jahanamnya neraka dengan perilakumu yang selalu saja bertentangan dengan agama,”
Mengingat akan hal itu, Tutik merasa dirinya menjadi perempuan yang bodoh, karena selama ini dirinya tertipu dengan perangai dan lelaku suaminya. Tutik pun tak kuasa menahan isak tangisnya. Buliran air mata terus saja keluar dari sendu matanya. Walau tak cukup keras, desah tangis Tutik terdengar. Namun hal itu sudah cukup menggangu, tenangnya malam lengkap dengan sinar gemintang dan rembulan yang dapat menenangkan hati setiap insan malam itu. Seakan terusik, hingga si Ami, permata hatinya yang ketiga terjaga dari tidurnya yang lelap.
”Ibu napa nangis?” tanya si bungsu sembari menggosok matanya.
”Ngga apa ko Dhe’,”
”Ibu hanya kelilipan, sama seperti Adhe’ waktu kelilipan debu,”
”Adhe’ pasti nangis juga khan menahan perih?”
”Sekarang Adhe’ tidur lagi yah?,” jawab tutik berkilah.
Tanpa perlu diminta lagi, Tutik pun mengantarkan putri bungsunya keperaduan mimpi untuk kedua kalinya di malam yang sama. Dan ketika Tutik merasa yakin permata hatinya telah terlelap dalam tidurnya lagi. Tutik pun beranjak pergi menuju kamar mandi. Tutik merasa tak ada lagi tempat peraduan untuk mengadukan segala derita diri, selain kepada Sang Ilahi Rabbi.
Pikiran Tutik semakin kalut, dadanya pun seakan mau pecah tak sanggup menahan gemuruh masalah yang dihadapinya. Hingga Tutik pun membasahi dirinya dengan balutan suci air wudhu, guna mendirikan Shalat Malam yang selalu menjadi pelabuhan terakhirnya untuk mengadukan segala pergemulan masalah yang dihadapinya kepada Sang ilahi Rabbi.
Bukan harta yang melimpah, bukan juga rumah mewah besertakan perabotan lux’s yang Tutik panjatkan dalam doa disetiap sepertiga penghujung malam setiap harinya.
Melainkan sebuah doa agar Sang Imam, Idris suaminya kembali. Kembali menjadi seorang lelaki yang segala tindak tanduk lelakunya bertumpu lagi pada Al Quran dan As Sunnah. Dan dapat lagi memimpin keluarga tuk menjadikannya keluarga yang sakinah.
Tanpa disadari, suara Adzan Shubuh pun berkumandang, bersamaan dengan selesainya perniagaan yang Tutik minta kepada Sang Khaliq, untuk dijadikan sebagai obat penyejuk di hati. Lalu sesat setelah suara iqomah terdengar, Tutik pun segera mendirikan lagi shalat shubuh dua rakaat, sebagai permulaan harinya. Rutinitas yang sama pun masih dilakoninya. Seakan tak ada badai yang telah memporak-porandakan hidupnya.
“Ahmad, Rini, Ami bangun sayang,”
“Sudah shubuh, saatnya kalian bangun,”
Masih dengan sempoyongan Ahmad dan Rini mulai terbangun pergi meninggalkan bantal guling kesayangan mereka, demi bergegas menunaikan shalat Shubuh. Begitu pula dengan Ami walau belum ada kewajiban untuk dirinya menegakkan rukun islam yang kedua, tapi bocah lima tahun itu turut pula terjaga. Nampaknya, hari itu 12 Rabiul Awal, masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Tutik dan ketiga buah hatinya masih melakukan hal yang sama dengan hari – hari sebelumnya. Ahmad dan Rini pergi ke sekolah dan Tutik selalu setia berada di rumah menyelesaikan kewajibannya sebagai Ibu rumah tangga sembari menunggu kepulangan, Idris suaminya.
Namun ada sesuatu yang berbeda, telepon rumah yang sudah jarang lagi berbunyi. Hari itu terdengar nada deringnya, menandakan ada panggilan telepon yang masuk. Sesegera pula, Tutik pergi menuju ruang tamu untuk menjawab panggilan telepon.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara lelaki dari seberang, yang berusaha tegar menutupi kesedihannnya.
“Walaikummussalam Warahmah, maaf ini dengan siapa saya berbicara,” balas Tutik yang turut gusar menerima telpon.
“Saya Mustofa, salah seorang teman Idris suami Anda,” jawab pria itu.
Belum selesai Idris menyelesaikan kalimatnya, Tutik pun langsung menyela menanyakan tentang suaminya. Firasatnya sebagai seorang istri mulai gelisah merasakan bahwa sesuatu yang buruk telah menimpa imamnya.
“Ada apa dengan suami saya,” tanya Tutik cepat.
”Innalillahi wainna ilaihirajiuun, suami Anda, Idris telah berpulang ke haribaan Sang Ilahi. Kepalanya terbentur trotoar karena kecelakaan motor dan mengalami pendarahan otak cukup parah,”
”Pihak rumah sakit, sudah berusaha semampunya. Namun rencana Tuhan berbeda. Sekarang, jenazah berada di RSUD Pelita Harapan. Saya harap anda bersabar dan meneima cobaan ini dengan ikhlas,”
Cukup panjang Mustofa menjelaskan keadaan Idris, namun otak Tutik pun sanggup lagi merespon telepon Mustofa dari seberang sana. Kecuali sepenggal kalimat yang menyatakan bahwa Mohammad Idris, suaminya telah berpulang ke Rahmutullah.
Tutik pun mematung sesaat setelah menerima kabar duka tersebut. Genggam telepon dibiarkannya menjuntai ke lantai rumah. Belum sempat pula bibir mungilnya mengucapkan Innalillahi atas berpulang suaminya, namun kesedihan yang teramat mendalam telah menyelimuti dirinya saat itu. Buliran air mata kesedihan, karena ditinggal oleh sang kekasih hati tak dapat tertahankan lagi. Air mata Tutik pun tumpah ruah membasahi pipinya. Sejenak saraf otak kanannya bekerja memberi perintah untuk Tutik merenung berpikir.
“Apakah ini pertanda dikabulkannya doa yang ia panjatkan di penghujung malamnya?”
Wallahualam
Surabaya 5 April 2009