Uniqmanusia’s

Tinta Kecil Luapan Hati Anak Manusia

Wajah Baru

Setelah lama vakum dengan membiarkan blog ini tak bertuan, kini rasanya merasa miris sendiri. Disaat orang lain, memerhatikan blog mereka, meramaikan isinya dengan beraneka ragam tulisan yang ciamik,  diri ini malah tak dapat dengan lihai mengetikkan kata-kata nun indah, tapi biarlah. Alam bisa karena biasa.

Yach, inilah keputusan,
Perlahan tapi pasti mimpi itu akan terwujud, InsyaAllah…

Tinggalkan komentar »

Ilalang dan Sang Kembara Angin

Lama sekali jemari ini tak bermain dengan huruf, merangkainya menjadi sebuah kata yang kemudian terwujud menjadi sebuah kalimat yang hingga nantinya tertuang dalam sebuh tulisan. Nalar diri ini kini telah mati, tertimbun dengan logika dan angka hingga diri ini pun terperangkap di lembah matematis yang tak mungkin lagi dapat dihindari.
Hingga akhirnya nalar diri ini kembali meronta hingga akhirnya berontak karena tak ada lagi ruang untuknya berkeluh kesah menceritakan segala peristiwa yang telah diri ini lewati.
Dan inilah hasil pemberontakan yang telah dilakukan sang nalar yang telah meluluhlantahkan sang logika.
Desah Ilalang
Ntah dari mana angin itu bermuara, tapi sejuknya makin terasa menusuk sendi-sendi. Angin yang selalu membawa kesejukan di tengah teriknya matahari. Makin lama, terasa semilir angin itu telah menguasai penikmatnya, angin sepoi-sepoi yang menghanyutkan setiap penikmatnya hingga mengantarkan ke surga dunia. Bahagia rasanya walaupun rasa itu hanya semu belaka. Karena rasa itu hanya sementara, angin tak punya cukup waktu untuk tetap bertahan. Sang angin harus berkelana melanjutkan kembaranya.

Kembara Angin
Aku ada, tak kasat mata, namun tak ada satu orang pun yang dapat menjamah. Karena ada ku bukan untuk dimiliki, tapi aku ada untuk dirasa. Seakan mengikuti kodrat, sang angin hanya datang untuk sementara dan akan kembali ntah untuk kapan. Karena angin dapat begitu mudahnya hilir mudik untuk datang dan pergi tanpa sebuah beban. Bahkan angin sering kali menghilang di putaran waktu. Padahal kesejukan akan hadirku amat sangat dirindukan.

Tak ubahnya dengan sifat sang angin yang dapat dengan mudahnya berpindah tempat, maka tak jarang pula sang angin membawa kabar yang tak menentu. Karena angin tetaplah angin, datangnya selalu tak terduga begitu pula kabar yang dibawanya. Terkadang sang angin membawa berita yang membuat penikmatnya terperanga karena kabar itu melahirkan senyum serta decak tawa nun bahagia. Namun tak jarang pula, sang angin membawa kabar yang menorehkan luka yang teramat perih, hingga luka itu semakin temaram dan tak kunjung padam.

Ingin diri….
Semilir angin itu tetap ada dan menetap tanpa harus menjalani kodratnya untuk melanjutkan kembaranya. Karena semilir angin itu benar adanya membawa bahagia. Dan diri pun tak ingin bahagia itu menguap begitu saja tertelan dipusaran waktu.

Desah Ilalang
Aku ada, namun ada ku sering kali menjadi pengganggu bahkan merusak. Bukan inginku untuk menjadi perusak ataupun yang terusak, aku sama seperti yang lain. Ingin sekali dikatakan indah, hingga menyejukkan setiap mata yang memandang. Karena ketika rasa bahagia itu ada, tentunya aku turut merasakan rona bahagia itu.

Itulah ilalang…
Tanaman liar yang sering kali dianggap tanaman pengganggu namun warna hijaunya sesekali dapat menyejukkan setiap mata yang memandang. Bagi mereka yang melihat, ilalang itu nampak kokoh walaupun musin kemarau telah tergantikan dengan penghujan yang mengguyuri bumi.

Sebenarnya, segala gurat ketakutan dan ketidakberdayaannya ia sembunyikan serapat mungkin hingga semak disebelah ataupun serangga yang menghampirinya tak ada mengetahui. Pesakitan yang dideritanya karena telah terinjak, teriknya panas matahari ataupun dinginnya musim penghujan tak jua ditampakkannya. Hingga dirinya meronta karena harus menahan pesakitan seorang diri. Namun ilalang tetaplah ilalang. Berusaha untuk tetap kuat walaupun sebenarnya dirinya rapuh.

Kembara Angin
Sering sang angin berkelana, rupa-rupa banyak ditemui. Hingga sang angin terperanjat di suatu tempat di tanah lapang. Tanah lapang yang menyejukkan mata, sang angin dapat leluasa hilir mudik di hamparan nun hijau itu tanpa perlu energi lebih untuk dapat melewatinya.

Tapi di tanah lapang itu, nampaknya ada yang berbeda. Seonggok tanaman yang hijau namun ia sering kali tak dihiraukan. Ketika sang angin datang, ia meliuk-liuk dengan indahnya. Menari-nari dengan lemah gemulai seakan dirinya sangat berbahagia akan datangnya sang angin. Tak butuh energi yang besar agar tanaman kecil itu dapat menari dengan indah, cukup dengan energi sisa dari sang angin karena telah lama berkelana, tapi tanaman kecil itu telah membuat sang angin terperana.

Akankah sang angin kembara dapat tetap bertahan hanya demi sebuah ilalang?
Akankah keduanya dapat teramu dan tersaji menjadi satu?
To Be Continue…

2 Komentar »

Perempuan Sahabatku

Cinta adalah ketika kamu menitikkan air mata, tetapi masih peduli terhdapnya.
Cinta adalah ketika dia tak mepedulikanmu, namun masih menunggunya dengan setia.
Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain, akan tetapi kamu masih bisa tersenyum seraya berkata “Aku turut berbahagia untukmu”
Dan cinta adalah alasan mengapa aku menangis saat ini…..
Awalnya tak ada hubungan yang teristimewa yang terjalin antara diri ini dengan dirinya. Kami hanyalah sepasang anak manusia yang sedang merajut sebuah benang atas nama persahabatan. Tanpa disadari, diri ini dan juga dirinya merasa nyaman satu sama lain. Hingga tak jarang pula, perbincangan ringan membumbui persahabatan kami. Mulai dari membahas perkuliahan yang sedang kami jalani dan seputar seluk beluk kehidupan ataupun perbincangan ringan yang tak berpangkal hingga candaan kecil yang sering kali membawa kami tertawa terpingkal-pingkal. Dan kebersamaan tersebut terus berlanjut, hingga kami serasa lebih dekat. Bahkan bukan hanya sekedar sahabat, itulah anggapan yang sering kami dapati, bagi orang-orang yang baru mengenal kami bahkan curiga tak beralasan sering kami dapati dari teman-teman di kampus.
“Eh,lo pacaran ma Indra yach?,” Tanya Inggrid kepada diri ini di sela-sela jam kuliah yang kosong.
“Jangan ngawur, Rini dan Indra cuma teman aja, nggak ada bedanya dengan teman yang yang lain kok ,” jelas diri ini.
Tapi diri ini pun sempat merasakan keganjalan, karena pada saat kalimat itu telah terucap bahwa Indra hanyalah seorang teman ataupun sahabat. Relung hati ini seakan berontak, menolak apa yang telah terucap. Namun tetap saja, diri ini tak pernah menghiraukannya.
Waktu pun terus berjalan, dan tak pernah ada kata berhenti walau sejenak. Begitu pula, dengan persahabatan yang telah diri ini jalin dengan Indra. Di kampus, Indra termasuk tipe orang yang tidak membeda-bedakan teman. Walaupun, Indra termasuk salah satu mahasiswa yang berperangai menarik dikalangan mahasiswi, bahkan tak ada gadis yang tak akan tertarik kepadanya. Selain itu, perangainya yang tinggi seakan menambah aura ketampanannya. Terlebih lagi sikapnya yang ramah tentunya semakin membuat perempuan terkesima akan kebaikan yang diberikan. Sebagai sahabat yang baru diri ini kenal kurang lebih tiga tahun ini, rasanya diri ini cukup bangga terhadap dirinya, walaupun sering kali ini rasa iri terhadap dirinya pernah singgah, walau hanya sebagai teman.
Terlepas dari daya tarik yang dimiliki Indra, diri ini seakan terlena, karena diri ini pun sudah tak lagi mempedulikan kabar angin yang telah merasuk di otak teman-teman kampus tentang diri ini dan juga dirinya. Seperti telah dibius dengan heroin, diri ini pun tak lagi sadar, ternyata yang diri ini hadapi adalah jurang curam yang telah siap menjatuhkan diri ini ke lembah kepesakitan. Dan hal itu, mulai diri ini rasakan manakala Indra mulai bercerita tentang perempuan lain yang mendekati dirinya. Awalnya, diri ini menganggapnya sebagai bualan belaka tapi lambat laun, terasa luka diri rasakan tapi diri ini pun tak tahu bagian mana yang tersayat luka itu.
“Rin, aku baru PDKT dengan Uphi nih. Dia cantik lho, anak fakultas Teknik pula, anak angkatan baru sich”
“Aku cuma bisa nyaranin hati-hati, ngejaga hati itulah yang penting, jangan main-main dengan anak orang” pintaku pada Indra.
“Nyantai aja, cuma tahap penjajakan, belum tentu juga bisa nyambung dengan dia,” tegas Indra membela diri.
“Tapi, ada yang lebih menggoda lagi Rin, ada temen kostnya Lia minta kenalan, ya udah aku iya kan aja ajakannya,”
“Dasar cowok,” gerutu diri ini kesal.
“Kok bisa-bisanya seperti itu?”
“Yang penting aku nggak ngapa-ngapain, kami cuma berteman kok, beda lagi kalo aku sudah ngejalanin hubungan dengan seseorang, aku pasti bakal serius ngejalaninnya” belanya lagi.
“Terserahlah,” diri ini pun segera meninggalkan Indra tuk mengakhiri pembicaraan yang semakin menjemukan.
Perselihan kecil seperti itu seringkali terjadi, manakala Indra sudah mulai mengadu tentang perempuan yang berusaha mendekatinya. Tapi tak berlangsung lama, kami pun dapat kembali berbaikkan seakan tak ada masalah yang telah terjadi.
Perputaran waktu pun terus melaju ke masa depan dan tak dapat dihentikan lagi keberadaannya. Akan tetapi pergolakan hati ini terus saja merajai diri ini. Ya, semula diri ini beranggapan bahwa diri ini dapat bersahabat dengannya tanpa melibatkan perasaan ketertarikan antara perempuan dengan laki-laki pada umumnya. Diri ini mengira akan tetap sama dapat mengerti dirinya, karena telah banyak hal yang pernah kami alami bersama namun rasa pesakitan yang abstrak itu masih sering kali diri ini dapati. Untuk itu, diri ini pun dengan sekuat tenaga untuk meredakan pergolakan hati ini. Tapi, segala usaha itu, nampaknya sia-sia belaka. Mula-mula diri ini turut merasakan kegembiraan, ketika dirinya gembira manakala bercerita tentang perempuan lain, matanya begitu berbinar dan bercahaya, seakan turut memberikan ruh baru dalam hidupnya. Namun semakin lama, rasa simpati ini berubah arah menjadi cemburu. Dan diri ini tak bisa melihat dirinya gembira, diri ini benar-benar cemburu terhadapnya.
“Rin, kamu tahu nggak, rasanya hatiku dah condong ma teman kostnya Lia, si Ana,”
“Yach, walau sampai sekarang aku masih belum tahu persis gimana wajahnya dan perilakunya, tapi dengan komunikasi yang sering aku lakuin dengannya walau cuma sebatas sms aja, rasanya hati ini dah klop,”
“Aku dah nggak sabar pengen ketemu dengan perempuan yang satu ini, Rin, tolong doakan aku yah!!!”
“Kalau yang ini, aku dah merasa klop aku janji nggak bakal main-main lagi dengan yang namanya perempuan” cerita Indra di sela-sela pengerjaan tugas besar kami.
“Ouwh, syukurlah kalau begitu, aku cuma bisa mendoakan yang terbaik untukmu,” kataku menanggapi permintaannya yang bertolak belakang dengan hati yang diri ini rasakan kala itu.
Dan seketika itu juga diri ini mengajukan permohonan kepada sang Ilahi “Ya Tuhan, jagalah hati ini, aku tidak ingin mengotorinya, karena aku tidak ingin merusak persahabatanku dengannya dan janganlah Engkau membuat keadaan ini bertambah buruk lagi,” pinta diri ini dalam hati.
Lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya sisi lain dari hati ini menginginkan Indra tak hanya sekedar sahabat ataupun teman belaka, walau segala asa untuk itu, harus diri ini tepis dan menutupi tanpa sepengatahuannya. Karena yang diri ingini Indra tak mengetahui segala apa yang diri ini rasa, selain itu diri ini pun menginginkan Indra dapat berbahagia. Dengan atau perempuan lain sekalipun.
Dan untuk menutupi itu semua, diri ini berusaha mengalihkannya dengan segala senda gurau manakala diri ini dan juga dirinya, harus berkutat bersama tentunya dalam pengerjakan tugas kuliah yang masih menjadi kewajiban kami, tak terkecuali. Selain itu, walau berat hati diri ini pun mulai meminimalisir komunikasi yang telah kami bina selama ini, diri ini berharap keadaan ini dapat menjadi lebih baik. Namun hati ini sudah tak bisa lagi berdusta. Perasaan cemburu itu begitu kuat menjajah diri ini, hingga rasa sakit itu mengerang-erang dalam diri. Hingga tak terasa, air mata yang sering kali jatuh membasahi ranumnya pipi ini terus membanjiri, karena meratapi nasib diri.
Tak hanya itu, diri ini pun merasakan kehampaan atas persahabatan yang telah terbina antara diri ini dan juga dirinya. Seperti sayur tanpa garam, tak ada lagi senda gurau bahkan keceriaan yang sering kali kami ciptakan seakan turut musnah secara perlahan. Hal itu diri ini rasakan, sejak Indra mulai mendekati perempuan lain, Ana. Indra pun sudah tak lagi menyediakan ruang untuk persahabatan kami. Perih, seperti luka yang tersiram asamnya cuka dan hanya bulir-bulir air matalah yang menjadi teman penghibur lara. Itulah yang diri ini rasakan, manakala diri ini merindukan masa-masa itu, masa-masa cinta hadir dalam persahabatan kami. Namun diri ini, harus menyimpannya seorang diri karena pada waktu yang bersamaan pula, diri ini harus melakoni peran yang menuntut diri ini untuk tidak mengumbar rasa itu ke publik terlebih lagi kepada dirinya. Hingga suatu ketika, panggung sandiwara dunia ini, mewajibkan kami untuk melakoni peran yang bersama, tentunya masih berkutat dengan dunia kampus.
Tak banyak kata yang terucap, kami saling menyibukkan diri. Seolah tak ada ruang lagi walaupun cuma bertegur sapa. Dan keadaan ini seperti ini semakin membuat diri tersiksa, oleh karena itu diri ini pun berinisiatif untuk memulai perbincangan.
“Ndra, menurutmu bagaimana kehidupan kita kelak ya?”
“Aku percaya, hidupku kelak akan lebih baik lagi, tentunya dengan isteri yang cantik lengkap dengan anak kecil yang ganteng mirip papanya, hahahaha….” Jawab Indra sekenaya.
“Kok bisa seyakin itu?” tanya diri lagi
“Tunggu dulu, kenapa kamu berandai-andai tentang masa depan?”
“Ahhh….nggak ada apa-apa, Cuma berandai dan menerka-nerka masa depan saja,” jawabku sembari menutupi apa yang telah terjadi pada diri ini.
“Jangan-jangan , kamu suka aku ya?”
“Yech…sapa juga yang bakal suka ma kamu,” bela diri ini menutupi padahal sebenarnya diri ini ingin sekali mengatakan iya, tapi sebisa mungkin diri ini membuat mimik muka seakan tak ada jawaban itu dalam raut wajah ini.
“Ahh, nggak usah bohong, aku sudah berpengalaman, kebanyakan teman perempuan yang dekat denganku, mereka mengatakan tidak tertarik dengan ku bahkan malah benci terhadapku. Tapi ujung-ujungnya dia nembak aku untuk ngajak pacaran dengannya, hal itu pernah aku rasakan semasa SMA dulu,”
Tak ingin melanjutkan perdebatan kusir, yang semakin membuat luka hati ini. Diri ini pun memutuskan untuk pamit undur diri. Tentunya dengan berkilah dengan berbagai alas an yang dapat diterimanya kala itu.
Hari-hari berlalu begitu saja, tak banyak perubahan yang berarti terutama mengenai persahabatan diantara kami, hampa terasa. Namun roda kehidupan terus saja berputar. Hingga suatu ketika, terdengar selintingan kabar angin yang akhirnya sampai ke telinga ini.
“Rin, kamu dah tahu khan kalau sekarang Indra dah jadian dengan Ana, anak fakultas teknik lho,” celetuk Ingga salah satu teman Indra yang juga merupakan teman diri ini.
“Mereka pasangan yang serasi ya? Indra cakep, ana juga termasuk wanita yang manis, jadi iri pasangan baru itu,” tambah Ingga.
Ternyata kabar angin itu serta firasat diri ini, benar adanya. Bagaikan tersambar petir di tengah panasnya terik matahari, diri ini sontak kaget tertegun akan news yang diri ini dapati dari seorang teman. Saat itu, badan terasa lemas, gontai tak bertuan, namun sebisa mungkin, diri ini harus segera mengenakan topeng kebahagiaan seakan turut berbahagia untuk Indra, walau pada saat itu rasanya air mata ini sudah tak dapat lagi diri bendungi.
Butuh waktu yang cukup lama, untuk menenangkan hati dan juga batin ini. Hingga diri ini pun berusaha mendekatkan diri kepada Sang Ilahi untuk meminta pertolongannya. Agar dapat penyakit hati yang sedang meradang dalam diri ini, dapat terobati. Namun semakin giat diri ini mengaji bahkan shalat qiyamul lail sering pula diri dirikan pada setiap malam-malamnya. Diri ini semakin sadar pula, bahwa sesungguhnya diri hanyalah manusia biasa.
Seakan dituntun oleh Sang Maha Kuasa, diri ini pun memulai ambil keputusan final, meskipun berat hati untuk memulainya.
“Biarlah rasa indah ini hanya diri ini yang merasa, walau tak balasan darinya. Karena aku tak ingin rasa ini berubah jadi benci. Aku akan tetap menjadi sahabatmu walau persahabatan yang akan terjalin di masa mendatang tak akan seindah dulu,”
Rumah Putih, 1 Oktober 200

Tinggalkan komentar »

Amazing Trip From 06…

Ntahlah…keedanan temen-temen Fisika tepatnya angkatan 2006 kumat lagi. Mungkin ini efek dari shok terapi yang kami terima beberapa hari yang lalu. Yang kemudian dilanjutkan dengan jadwal presentasi…Biasalah, shok terapi pada saat-saat kuliah, ujian yang tepatnya UAS.

Keedanan Kami bersamaan dengan diresmikannnya jembatan nasional Suramadu-Surabaya Madura (Bukan Surabaya-Madiun lho yach)…Sehingga tak pelak pula, kami pun untuk memutuskan trip keedanan kami untuk menelusuri Jembatan Suramadu. Apalagi,sebelumnya kami telah di iming-imingngi video amatiran dari sebuah perjalanan segerombolan anak manusia tak bertuan di angkatan kami yang telah lebih dahulu melakukannya, yakni Komteng, Iwan, Dias dan Nailul(Nailul Fis 07).

Dan setelah cukup lama berunding serta bernegosiasi untuk meloba-lobi siapa saja para narapidana yang akan mengikuti perjalan ini. Kami pun memutuskan untuk kumpul di basecamp lama, yakni parkiran MIPA (basecamp sebelum pengkaderan 422 dimulai saat pagi harinya pada tahun 2006 silam). Yach…Yach…Yach…seperti biasa, namanya juga Indinesia, jam karet pun berlaku untuk kami. Awalnya kami sepakat kumpul jam 09.00 WITS. Tapi kami baru kumpul dan siap melanjutkan perjalanan keedanan kami tepat pukul 10.11 WIB.

Rute perjalanan kami dimulai saat kami keluar dari pintu utama Kampus Perjuangan (Baca: ITS CAK) kemudian menelusuri setapak demi setapak jalan Mulyosari hingga daerah Kenjeran, yang juga base Pertama yang kami singgahi saat trip edan ini. Tapi namanya juga trip edan, padahal sebelumnya udah dikomando untuk lewat Mulyosari tapi tetep aja ada yang buandel tidak patuh ma komandan, ada yang menyalahi aturan trip hingga mereka tiba terlebih dahulu di pintu masuk Suramadu untuk arah Surabaya. (Biarlah mereka menunggu disana hingga kedatangan narapidana yang patuh ma komandan pun tiba…Wk…wk…wk…).

Setelah para narapidana komplit di base pertama, kami pun melanjutkan trip edan ini dengan menelusuri jalan tikus yang ada untuk sampai ke tujuan utama kami yakni Suramadu. Tak kurang tiga puluh menit kami pun telah tiba di pintu utama Suramadu. Busyettt….Uantreeee!!! (Itulah kalimat pertama yang keluar dari mayoritas para narapidana trip edan ini).

Namanya juga trip edan, tak peduli halangan serta rintangan yang membentang, kami pun terus melaju. Di sela-sela kemacetan yang menggila yang juga berpayung terik sinar matahari, kami pun enjoy aja untuk melakukannya. Padahal saya tahu, di relung hati mereka yang tak bisa berbohong akan berkata: Puanas Rekk!!! G kuat nich… (Bener khan kawan???).

Dan untuk menghilangkan kejenuhan itu, maka bayolan konyol pun tercipta seakan mengingatkan masa lalu…
“Khan udah biasa di PP pas waktu pengkaderan, jadi ilmunya mesti diterapin hari ini yach???” ucap si Duduts yang juga selalu di sumbangi dengan tawanya yang cengengesan.
Dan bagi para narapidana lain yang turut mendengarkan hanya tertawa kecut karena menahan terik matahari yang sudah menggosongi kulit kami. (Saya yakin, sebenarnya mereka ingin tertawa lepas, karena kelucuan dari ocehan si Duduts tapi apa daya, terik sang mentari seakan membuat masam raut muka dari setiap narapidana, bener khan???)
(Duduts jangan kecewa yach….)

Hhhhhh….Waktu terus berputar, terik matahari pun terus meninggi yang sebanding dengan tingginya suhu udara yang kami rasakan waktu itu. Peluh dan keringat dari setiap narapidana pun terus menetes membasahi seluruh raga. Polusi udara pun turut masuk ke saluran pernafasan kami bersama dengan sisa-sisa oksigen yang dapat kami hirup waktu itu. Tapi motor kami tak dapat melaju kencang lagi, bahkan kecepatannya pun dapat terkalahkan oleh larian anak kecil, karena padatnya kendaraan roda dua yang saling berdesakan di jalur yang kami lalui. 5 menit telah berlalu, kami hanya bisa bergerak setengah meter dari posisi semula. Begitu pula yang kami rasakan di menit-menit selanjutanya.

Kami para narapidana seakan lelah, patah arang sebelum berjuang menaklukkan jembatan yang hanya berjarak 5.4 Km ini. Tapi itu juga yang dirasakan oleh pengendara yang lain. Hingga dua narapidana kami harus gugur karena tak sanggup bertahan di medan perang untuk menaklukkan Jembatan Suramadu, Yakni Hamidhah dan Aberta…tapi tak selang cukup lama setelah Hamidhah dan Aberta mundur, keganasan tiap pengendara telah dimulai, mereka tak tahan lagi untuk bersabar di tengah terik matahari. Hingga para pengendara itu saling gotong royong mengangkati motor mereka ke lajur tengah…(Busyett dah,,,,nich orang nekat banget yach??)
Dan dengan keganasan itu pula, kemacetan pun sedikit berkurang, dan kami para narapidana dapat menikmati hasilnya. Motor kami dapat melaju dengan kencang kembali, walau tak sekencang angin tornado. tapi syukur alhamdulillah daripada harus berjalan merayap seperti sebelumnya.

Setiap narapidana pun seakan tersihir, melihat hasil peradaban karya manusia di abad ke 21 karena telah berhasil menciptakan maha karya yang telah menguhubungkan dua pulau pada bentang selat yang boleh dikatakan panjang. Keren!!! Ko bisa yach mereka bangun seperti ini???? SubhanAllah…Itulah sedikit cuplikan yang terlontar dari rongga mulut para narapidana di tenga-tengah perjalan yang juga tak pernah lepas berpayung panasnya sinar matahari…

Hingga tanpa mereka sadari bahwa diri dari setiap narapidana telah menapaki bumi garam, yakni Pulau Madura. Motor kami pun terus melaju, walaupun sesekali kami berhenti untuk mencari Base kedua yang nyaman namun tak kunjung bersua. Ratusan bahkan ribuan meter telah dilalui, pemandangan yang kami temui hanya berua bukit tandus dan pematang sawah bahkan ada pula yang tak lagi terawat.

Yups…
Diri ini pun mulai menerima setiap keluhan yang terlontar dari setiap narapidana, diantaranya
“Madura ko panasnya???” ucap Phepeb
“Madura gersang yach???” keluh Lely-Lala
dan tak mau ketinggalan Si Janda pun turut berucap
“Berapa kilometer lagi, kita bisa menemukan peradaban lagi???( Janda ingat, kamu berarti masih punya janji mentraktrir roham lho!!!)
Khan Rohma yang menang tebak-tebakannya….Whahahaha)
“Tibak no Madura seperti ini yach?” tandas Si Guffi…

Terserahlah apa kata mereka…Tapi memang beginilah keadaannya…Walau daerah dengan segala keterbatasannya tapi tetap saja dilirik untuk dikembangkan karena memikili poetensi yang baik…(katanya sich begitu, bener ato nggak..ntahlah)
tapi menurut diri ini, Pulau ini tetap terbaik karena pulau ini yang selalu membuat diri ini rindu, rindu untuk pulang bersua dengan sanak keluarga….

Ok,…
kembali ke cerita trip edan…Perjalan terus berlanjut hingga kami menemukan base kedua yakni di daerah Burneh, tepatnya di sebuah mesjid. Walaupun kami menamakan perjalanan edan, tapi kami tidak ingin menanggalkan kewajiban kami, yakni menunaikan sholat. Tak hanya itu kami juga rehat sejenak menghilangkan dahaga dan juga lelah. Tapi dahaga dan juga rasa lapar yang kami alami belum terobati . Padahal ilmu waktu pengkaderan telah kami terapkan yakni dengan berbagi tiga mangkok bakso ditambah dengan 2 liter air mineral sebagai obatnya untuk 18 narapidana yang tersisa. (Melas banget yach perjalanan ini…Tapi saya rasa setiap narapidana merasakan bahagia karena yang kami inginkan hanya kebersamaan).

Cacing-cacing terus saja meronta, dahaga terus saja menyiksa hingga kering terasa tenggorakan ini. HIngga kami pun memutuskan untuk mencari obat penenang untuk cacing-cacing yang telah memberontak sejak pagi tadi. Mungkin karena nama yang telah kami nobatkan dalan perjalan kali ini, keedan selanjutnya tak ada warung yang dapat menyediakan makanan untuk ke delapan belas narapidana. Karena persediaan mereka telah habis dibeli orang lain. Hingga kami pun bertahan dengan tenaga yang tersisa untuk kembali ke realita, yakni kampus perjuangan.
(Padahal kalo mau nyari ke daerah bangkalan masih ada makanan kok kawan, tapi kalian masihn keukeuh untuk mancari daerah burneh sich…)

Rute yang kami tempuh tetap sama, tapi kami tak lagi berjalan beriringan bersama lagi. Selain terjebak dalam lingkaran kemacetan yang melanda di jembatan Suramadu. Beberapa narapidana yang lain harus mengisi bensin terlebih dahulu (baca: makan+minum).
(padahal kata si Duduts: Kita jangan sampe jatuh di lubang yang sama (baca: terjebak macet lagi), nyatanya kita terjebak lagi) yach seperti biasa, prediksi si duduts lagi untuk ke sekian kalinya meleset…

Setelah menginjakkan kaki kembali di kota perjuangan (baca:Surabaya). Kami perpendar, ada yang pulang terlebih dahulu, adapula yang bertandang sejenak ke rumah seorang kawan hingga kemudian melanjutkan perjalannannya kembali hingga tiba ke kampus perjuangan.

NAMA” NARAPIDANA YANG IKUT TRIP EDAN :

1. Ketua Buron: Medi Andrias Maja
2. Tangan kanan Ketua : Achmad Mirwan H
3. Gengster Cowok: Joko Nugroho
Kurriawan Budhi P
Rian Budhi
Dian Mart S
Ahmad Hijazi
Moh. Herman Eko S
Adi Kurniayan Y
Mohammad Gufron
4. Gengster Cewek: Febie Angelia P
Eri Sri Palupi
Machida Nurul Cholishoh
Nurul Amalia S
Aisha Mei H
Nanda Tri K
Rahardiyanti C
Wahyu A
Anggi Anggraeni
Henyk NW
Nany Lailil I
Anggrek Angraini
Mee….

2 Komentar »

Cinta VS Persahabatan

Dua sisi yang saling berkaitan satu dengan lainnya.
Ya, antara Cinta dengan Persahabatan.
Mampukah anda membayangkan Persahabatan tanpa Cinta?

Persahabatan dan Cinta adalah teman terbaik kerana dimana ada Cinta, Persahabatan selalu berada disampingnya. Dan dimana Persahabatan berada, Cinta selalu tersenyum ceria dan tidak pernah meninggalkan Persahabatan.Pada suatu hari, Persahabatan mula berpikir bahwa Cinta telah membuat dirinya tidak mendapat perhatian lagi karena Persahabatan menganggap Cinta lebih menarik daripada dirinya.

?Hhem mm mm? Seandainya tidak ada Cinta, mungkin aku akan menjadi lebih terkenal, dan lebih banyak orang memberi perhatian kepadaku.? pikir si Persahabatan. Sejak hari itu, Persahabatan memusuhi Cinta. Ketika Cinta bermain bersama Persahabatan seperti selalu, Persahabatan akan menjauhi Cinta. Apabila Cinta bertanya kenapa Persahabatan menjauhi dirinya, Persahabatan hanya memalingkan wajahnya dan beredar pergi meninggalkan Cinta.

Kesedihan pun menghampiri Cinta dan Cinta tidak sanggup menahan air matanya dan menangis. Kesedihan hanya dapat termangu memandang Cinta yang kehilangan teman baiknya. Beberapa hari tanpa Cinta, Persahabatan mulai bergaul rapat dengan Kecewa, Putus asa, Kemarahan dan Kebencian.

Persahabatan mulai kehilangan sifat manisnya dan orang-orang mulai tidak menyukai Persahabatan. Persahabatan mulai dijauhi dan tidak lagi disukai.Walaupun Persahabatan cantik, tetapi sifatnya mulai memuakkan.Persahabatan menyadari bahwa dirinya tidak lagi disukai lantaran banyak orang yang menjauhinya. Persahabatan mulai menyesali keadaannya, dan saat itulah Kesedihan melihat Persahabatan, dan menyampaikan kepada Cinta bahwa Persahabatan sedang dalam kedukaan.

Dengan segera Cinta berlari dan menghampiri Persahabatan. Saat Persahabatan melihat Cinta menghampiri dirinya, dengan air mata yang berlinang Persahabatan pun meluapkan seribu penyesalannya meninggalkan Cinta.

Dipendekkan cerita, Persahabatan dan Cinta kembali menjadi teman baik. Persahabatan kembali kepada pribadi yang menyenangkan dan Cinta pun kembali tersenyum ceria. Semua orang melihat kembali kedua teman baik itu sebagai berkat dan anugerah dalam kehidupan.

Moral:
Mampukah Persahabatan tanpa Cinta?
Mampukah Cinta tanpa Persahabatan?

Sering kali ditemui banyak orang yang coba memisahkan Persahabatan dan Cinta karena mereka berfikir, ?Kalau Persahabatan sudah disulami dengan Cinta, pasti akan jadi sulit!?. Terutama bagi mereka yang menjalin persahabatan antara seorang pria dan wanita.

Persahabatan merupakan bentuk hubungan yang indah antara manusia, di mana Cinta hadir untuk memberikan senyumnya dan mewarnai Persahabatan. Tanpa Cinta, Persahabatan mungkin akan diisi dengan Kecewa, Benci, Marah dan berbagai hal yang membuat Persahabatan tidak lagi indah. Berhentilah membuat batas antara Cinta dan Persahabatan, biarkan mereka tetap menjadi Teman baik. Yang harus diluruskan adalah Cinta bukanlah perusak Persahabatan, Cinta memperindah persahabatan anda.

Seringkali Cinta cuma dijadikan kambing hitam sebagai perusak sebuah persahabatan. SALAH BESAR !!! Seharusnya dengan adanya Cinta, persahabatan akan semakin menyenangkan. Buat teman-teman yang sedang menjalin Persahabatan. Penuhilah persahabatanmu dengan Cinta, berikanlah Cinta yang terbaik untuk sahabatmu.

Buat teman-teman yang sedang mengalami guncangan dalam persahabatan, jangan salahkan Cinta! Tetapi cobalah perbaiki persahabatanmu dengan cinta karena cinta akan menutupi segala kesalahan, mengampuni dengan mudah dan membuat segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Buat teman-teman yang belum mengerti arti Persahabatan, cobalah memulai sebuah persahabatan. Dengan persahabatan kalian akan semakin dewasa, tidak egois dan belajar untuk mengerti bahwa segala sesuatu tidak selalu terjadi sesuai dengan keinginan kita.

Buat teman-teman yang sedang kecewa dengan Persahabatan. Renungkanlah;?
Apakah saya sudah menjalani Persahabatan dengan benar??
Dan cobalah memahami arti persahabatan buat hidupmu. Keinginan, semangat, pengertian, kematangan, kelemahlembutan dan segala hal yang baik akan engkau temui dalam persahabatan.

Note : Dari seorang teman yang jauh di sana….

Tinggalkan komentar »

Teknik” Membuat Resensi

dan…kebahagiaan akan berlipat ganda
jika dibagi dengan orang lain~

(Paulo Coelho dalam novel “Di Tepi Sungai Piedra”)

Beruntung orang yang suka membaca buku. Mereka yang gemar membaca buku akan terbuka wawasannya, tidak kuper dan cupet pandangan. Mereka akan mendapatkan informasi selain yang dipikirkannya selama ini, begitu juga referensi dan pengetahuannya akan bertambah luas. Inilah sebenarnya investasi berharga sebagai modal untuk mengarungi kehidupannya. Orang yang menyukai aktivitas membaca, biasanya mereka tidak akan terjebak dalam pola berpikir sempit ketika menghadapi problem-problem penting yang terjadi di dunia. Dalam kehidupan nyata juga berpeluang besar punya potensi dan kecenderungan yang bijak dalam mensikapi kejadian-kejadian keseharian di sekitarnya.
Tapi, bagi orang yang ingin berbuat lebih dan mau berbagi ilmu kepada orang lain, membaca saja tak cukup. Mereka perlu memiliki ketrampilan lagi yaitu ketrampilan meresensi buku (berbagi bacaan). Sebelum melangkah kepada teknik ringkas meresensi buku, ada beberapa hal penting mengapa resensi perlu dibuat. Tujuannya, diantaranya sebagai berikut,

1. Membantu pembaca (publik) yang belum berkesempatan membaca buku yang dimaksud (karena buku yang diresensi biasanya buku baru) atau membantu mereka yang memang tidak punya waktu membaca buku sedikitpun. Dengan adanya resensi, pembaca bisa mengetahui gambaran dan penilaian umum terhadap buku tertentu. Setidaknya, dalam level praktis keseharian, bisa dijadikan bahan obrolan yang bermanfaat dari pada menggosip yang tidak jelas juntrungnya.

2. Mengetahui kelemahan dan kelebihan buku yang diresensi. Dengan begitu, pembaca bisa belajar bagaimana semestinya membuat buku yang baik itu. Memang, peresensi bisa saja sangat subjektif dalam menilai buku. Tapi, bagaimanapun juga tetap akan punya manfaat (terutama kalau dipublikasikan di media cetak, karena telah melewati seleksi redaktur). Lewat buku yang diresensi itulah peresensi belajar melakukan kritik dan koreksi terhadap sebuah buku. Disisi lain, seorang pembaca juga akan melakukan pembelajaran yang sama. Pembaca bisa tahu dan secara tak sadar akan menggumam pelan “Oooo buku ini begini…. begitu” setelah membaca karya resensi.

3. Mengetahui latarbelakang dan alasan buku tersebut diterbitkan. Sisi Undercovernya. Kalaupun tidak bisa mendapkan informasi yang demikian, peresensi tetap bisa mengacu pada halaman pengantar atau prolog yang terdapat dalam sebuah buku. Kalau tidak, informasi dari pemberitaan media tak jadi soal.

4. Mengetahui perbandingan buku yang telah dihasilkan penulis yang sama atau buku-buku karya penulis lain yang sejenis. Peresensi yang punya “jam terbang” tinggi, biasanya tidak melulu mengulas isi buku apa adanya. Biasanya, mereka juga menghadirkan karya-karya sebelumnya yang telah ditulis oleh pengarang buku tersebut atau buku-buku karya penulis lain yang sejenis. Hal ini tentu akan lebih memperkaya wawasan pembaca nantinya.

5. Bagi penulis buku yang diresensi, informasi atas buku yang diulas bisa sebagai masukan berharga bagi proses kreatif kepenulisan selanjutnya. Karena tak jarang peresensi memberikan kritik yang tajam baik itu dari segi cara dan gaya kepenulisan maupun isi dan substansi bukunya. Sedangkan, bagi penerbit bisa dijadikan wahana koreksi karena biasanya peresensi juga menyoroti soal font (jenis huruf) mutu cetakan dsb.

Nah, untuk bisa meresensi buku, sebenarnya tidak sesulit yang dibayangkan sebagian orang. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan siapa saja yang akan membuat resensi buku asalkan mereka mau. Diantaranya;

A. Tahap Persiapan

1. Memilih jenis buku. Tentu setiap orang mempunyai hobi dan minat tertentu pada sebuah buku. Pada proses pemilihan ini akan lebih baik kalau kita fokus untuk meresensi buku-buku tertentu yang menjadi minat atau sesuai dengan latarbelakang pendidikan kita. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang tidak mungkin menguasai berbagai macam bidang sekaligus. Ini terkait dengan ” otoritas ilmiah”. Tidak berarti membatasi atau melarang-larang orang untuk meresensi buku. Tapi, hanya soal siapa berbicara apa. Seorang guru tentu lebih paham bagaimana cara mengajar siswa dibandingkan seorang tukang sayur.

2. Usahakan buku baru. Ini jika karya resensi akan dipublikasikan di media cetak. Buku-buku yang sudah lama tentu kecil kemungkinan akan termuat karena dinilai sudah basi dengan asumsi sudah banyak yang membacanya. Sehingga tidak mengundang rasa penasaran. Untuk buku-buku lama (yang diniatkan hanya sekedar untuk berbagi ilmu, bukan untuk mendapatkan honor) tetap bisa diresensi dan dipublikasikan misalnya lewat blog (jurnal personal).

3. Membuat anatomi buku. Yaitu informasi awal mengenai buku yang akan diresensi. Contoh formatnya sebagai berikut;

Judul Karya Resensi

Judul Buku :
Penulis :
Penerbit :
Harga :
Tebal :

B. Tahap Pengerjaan

1. Membaca dengan detail dan mencatat hal-hal penting. Ini yang membedakan antara pembaca biasa dan peresensi buku. Bagi pembaca biasa, membaca bisa sambil lalu dan boleh menghentikan kapan saja. Bagi seorang peresensi, mesti membaca buku sampai tuntas agar bisa mendapatkan informasi buku secara menyeluruh. Begitu juga mencatat kutipan dan pemikiran yang dirasa penting yang terdapat dalam buku tersebut.

2. Setelah membaca, mulai menuliskan karya resensi buku yang dimaksud. Dalam karya resensi tersebut, setidaknya mengandung beberapa hal;

• Informasi(anatomi) awal buku (seperti format diatas).
• Tentukan judul yang menarik dan “provokatif”.
• Membuat ulasan singkat buku. Ringkasan garis besar isi buku.
• Memberikan penilaian buku. (substansi isinya maupun cover dan cetakan fisiknya) atau membandingkan dengan buku lain. Inilah sesungguhnya fungsi utama seorang peresensi yaitu sebagai kritikus sehingga bisa membantu publik menilai sebuah buku.
• Menonjolkan sisi yang beda atas buku yang diresensi dengan buku lainnya.
• Mengulas manfaat buku tersebut bagi pembaca.
• Mengkoreksi karya resensi. Editing kelengkapan karya, EYD dan sistematika jalan pikiran resensi yang telah dihasilkan. Yang terpenting tentu bukan isi buku itu apa, tapi apa sikap dan penilaian peresensi terhadap buku tersebut.

C. Tahap Publikasi

1. Karya disesuaikan dengan ruang media yang akan kita kirimi resensi. Setiap media berbeda-beda panjang dan pendeknya. Mengikuti syarat jumlah halaman dari media yang bersangkutan adalah sebuah langkah yang aman bagi peresensi.

2. Menyertakan cover halaman depan buku.

3. Mengirimkan karya sesuai dengan jenis buku-buku yang resensinya telah diterbitkan sebelumnya. Peresensi perlu menengok dan memahami buku jenis apa yang sering dimuat pada sebuah media tertentu. Hal ini untuk menghindari penolakan karya kita oleh redaktur.

Demikian ulasan sekilas mengenai teknik sederhana meresensi buku. Pada intinya, persoalan meresensi buku adalah soal berbagi (ilmu). Setelah membaca buku, biasanya kita bahagia karena memperoleh wawasan baru. Dengan begitu urusan meresensi buku juga bisa berarti kita berbagi kebahagiaan dengan orang lain.

Tinggalkan komentar »

Sepenggal Doa Malam

Usia perempuan itu tak lagi muda, bahkan telah melewati dari sepertiga abad. Namun cinta dan kasih sayang yang ia curahkan tak pernah berubah. Telah ratusan hingga ribuan hari telah ia lalui, namun jemari itu seakan tak mengenal lelah, mengusap kepala sang buah hati manakala akan mengantarkannya ke alam mimpi. Tak hanya itu badannya yang telah rapuh di makan usia, tak henti-heninya memberikan kehangatan walau cuma sebuah dekapan kasih sayang.

”Nyenyakkanlah tidur kalian malam ini. Biar dirimu kuat esok hari,”

”Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok hari,”

”Untuk itu, mintahlah kalian dalam doa Sang Ilahi Rabbi untuk diberi kekuatan di esok harinya,” Pengantar tidur yang tak pernah lupa disampaikan perempuan paruh baya itu untuk ketiga buah hatinya Ahmad, Rini serta si Ami si bungsu pada tiap malamnya.

”Iya, Bunda,” sahut Rini dan Ami. Maka serta merta pula bibir mungil kedua bocah pun melantunkan doa tidur. Sedangkan Ahmad, putra sulungnya sudah terlelap terlebih dahulu.

Setelah merasa yakin bahwa ketiga buah hatinya tertidur pulas dalam balutan hangat doa dan mimpi yang menemani. Perempuan kelahiran Pulau Garam ini, perlahan-lahan mulai melangkah pergi hingga kakinya pun terhenti pada sebuah meja di salah satu sudut rumahnya. Setelah lama terpaku diam dan cukup lama berdiri, ia sandarkan badannya pada sebuah kursi tua yang tak berada jauh dari meja makan itu.

Lama perempuan itu mematung bahkan tanpa disadari, air mata Tutik, Ibu dari Ahmad, Rini dan Ami terjatuh membasahi keduanya pipinya yang telah keriput dimakan usia. Pikiran Ibu dari ketiga anak itu pun semakin kalut, tak kuasa menahan badai masalah yang menghujani dirinya tiada henti. Di tengah pasang surutnya perekonomian rumah tangga yang Tutik bangun bersama pria yang dipilihnya untuk dijadikan sandaran hidup berbagi keluh kesah, pergi meninggalkan dirinya dan ketiga permata hatinya. Disisi lain, keluarga besar Tutik menuntut rumah tangga yang dibina bersama Mohammad Idris suaminya, harus sederajat dengan sanak family yang telah mapan perekonomiannya.

Walau malam tak lagi bersahabat, karena dinginnya udara semakin menusuk rusuk tulang akan tetapi pikiran perempuan itu terus berkelana, mengira-ngira keberadaan sang imamnya kini. Karena disaat seperti ini, Tutik sangat membutuhkan imamnya untuk mendampingi dirinya menghadapi ujian hidup.

”Masih ingatkah, dirimu Mas dengan ketiga cinta kita,”

“Tak hanya aku yang merindukanmu, mereka juga sering menanyakan keberadaanmu,”

”Bukan hanya materi yang mereka butuhkan, tapi nafkah batiniyah yang seharsnya kamu penuhi pada mereka,”teriak Tutik dalam hatinya.

Sudah kesekian kalinya, kalimat itu terlontar dari bibir merah Tutik, di setiap malam – malamnya tak terkecuali malam ini. Serentetan kalimat yang mewakili kerisauan hatinya. Tak kuasa menahan, hingga air mata yang menjadi obat pelipur lara pun semakin deras mengalir. Batinnya terluka, begitu pula raganya, jenuh memikirkan kondisi rumah tangganya. Lamunan Tutik pun serta merta mengantarkannya untuk mengingatkan kembali akan kata – kata yang dilontarkan suaminya, Idris. Sesaat sebelum lelaki berkulit sawo matang itu benar – benar pergi mengikuti nafsu duniawinya.

”Aku akan buktikan pada keluarga besarmu, bahwa kita juga bisa hidup layak seperti yang lain. Apapun caranya,” ucap pria asal Kota Pahlawan itu.

”Termasuk berjudi?”

”Istighfar Mas, jangan sampai dirimu melangkah di jalan yang tidak diridhai Ilahi,”

”Tegakah dirimu, menafkahi anak dan istrimu dengan barang yang haram?” tanya tutik, seraya mengingatkan sang imam bahwa dirinya telah keliru mengambil jalan.

”Sudahlah, tahu apa dirimu tentang semua itu,”

”Yang terpenting segala kebutuhanmu, sudah aku penuhi,”

”Jaga anak – anak dengan baik, aku pergi dulu,” sanggah pria yang kini telah genap berkepala lima.

Terasa sesak dada Tutik, serasa ada ribuan jarum yang menghujani tubuhnya kala itu. Hatinya sakit, kecewa, sedih, marah, luka, terhina serta ribuan kata kesedihan bersemayam didalamnya. Tutik merasa lelaki yang dicintainya telah berubah 180 derajat. Semasa muda lelaki asal Jawa itu, termasuk remaja yang taat terhadap agama. Perangai dan perilakunya pun tak lepas dari Al Quran dan As Sunnah. Karena itu pulalah, yang menjadi alasan Tutik menerima pinangan Mohammad Idris, yang kini telah menjadi imamnya.

”Aku kira dengan perangai dan lelakumu yang taat pada agama sewaktu dulu, dapat mengantarkanku untuk membina keluarga yang sakinah.

”Ternyata aku salah menilaimu. Justru dirimulah yang menyeret diri ini ke lembah jahanamnya neraka dengan perilakumu yang selalu saja bertentangan dengan agama,”

Mengingat akan hal itu, Tutik merasa dirinya menjadi perempuan yang bodoh, karena selama ini dirinya tertipu dengan perangai dan lelaku suaminya. Tutik pun tak kuasa menahan isak tangisnya. Buliran air mata terus saja keluar dari sendu matanya. Walau tak cukup keras, desah tangis Tutik terdengar. Namun hal itu sudah cukup menggangu, tenangnya malam lengkap dengan sinar gemintang dan rembulan yang dapat menenangkan hati setiap insan malam itu. Seakan terusik, hingga si Ami, permata hatinya yang ketiga terjaga dari tidurnya yang lelap.

”Ibu napa nangis?” tanya si bungsu sembari menggosok matanya.

”Ngga apa ko Dhe’,”

”Ibu hanya kelilipan, sama seperti Adhe’ waktu kelilipan debu,”

”Adhe’ pasti nangis juga khan menahan perih?”

”Sekarang Adhe’ tidur lagi yah?,” jawab tutik berkilah.

Tanpa perlu diminta lagi, Tutik pun mengantarkan putri bungsunya keperaduan mimpi untuk kedua kalinya di malam yang sama. Dan ketika Tutik merasa yakin permata hatinya telah terlelap dalam tidurnya lagi. Tutik pun beranjak pergi menuju kamar mandi. Tutik merasa tak ada lagi tempat peraduan untuk mengadukan segala derita diri, selain kepada Sang Ilahi Rabbi.

Pikiran Tutik semakin kalut, dadanya pun seakan mau pecah tak sanggup menahan gemuruh masalah yang dihadapinya. Hingga Tutik pun membasahi dirinya dengan balutan suci air wudhu, guna mendirikan Shalat Malam yang selalu menjadi pelabuhan terakhirnya untuk mengadukan segala pergemulan masalah yang dihadapinya kepada Sang ilahi Rabbi.

Bukan harta yang melimpah, bukan juga rumah mewah besertakan perabotan lux’s yang Tutik panjatkan dalam doa disetiap sepertiga penghujung malam setiap harinya.

Melainkan sebuah doa agar Sang Imam, Idris suaminya kembali. Kembali menjadi seorang lelaki yang segala tindak tanduk lelakunya bertumpu lagi pada Al Quran dan As Sunnah. Dan dapat lagi memimpin keluarga tuk menjadikannya keluarga yang sakinah.

Tanpa disadari, suara Adzan Shubuh pun berkumandang, bersamaan dengan selesainya perniagaan yang Tutik minta kepada Sang Khaliq, untuk dijadikan sebagai obat penyejuk di hati. Lalu sesat setelah suara iqomah terdengar, Tutik pun segera mendirikan lagi shalat shubuh dua rakaat, sebagai permulaan harinya. Rutinitas yang sama pun masih dilakoninya. Seakan tak ada badai yang telah memporak-porandakan hidupnya.

“Ahmad, Rini, Ami bangun sayang,”

“Sudah shubuh, saatnya kalian bangun,”

Masih dengan sempoyongan Ahmad dan Rini mulai terbangun pergi meninggalkan bantal guling kesayangan mereka, demi bergegas menunaikan shalat Shubuh. Begitu pula dengan Ami walau belum ada kewajiban untuk dirinya menegakkan rukun islam yang kedua, tapi bocah lima tahun itu turut pula terjaga. Nampaknya, hari itu 12 Rabiul Awal, masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Tutik dan ketiga buah hatinya masih melakukan hal yang sama dengan hari – hari sebelumnya. Ahmad dan Rini pergi ke sekolah dan Tutik selalu setia berada di rumah menyelesaikan kewajibannya sebagai Ibu rumah tangga sembari menunggu kepulangan, Idris suaminya.

Namun ada sesuatu yang berbeda, telepon rumah yang sudah jarang lagi berbunyi. Hari itu terdengar nada deringnya, menandakan ada panggilan telepon yang masuk. Sesegera pula, Tutik pergi menuju ruang tamu untuk menjawab panggilan telepon.

“Assalamu’alaikum,” terdengar suara lelaki dari seberang, yang berusaha tegar menutupi kesedihannnya.

“Walaikummussalam Warahmah, maaf ini dengan siapa saya berbicara,” balas Tutik yang turut gusar menerima telpon.

“Saya Mustofa, salah seorang teman Idris suami Anda,” jawab pria itu.

Belum selesai Idris menyelesaikan kalimatnya, Tutik pun langsung menyela menanyakan tentang suaminya. Firasatnya sebagai seorang istri mulai gelisah merasakan bahwa sesuatu yang buruk telah menimpa imamnya.

“Ada apa dengan suami saya,” tanya Tutik cepat.

”Innalillahi wainna ilaihirajiuun, suami Anda, Idris telah berpulang ke haribaan Sang Ilahi. Kepalanya terbentur trotoar karena kecelakaan motor dan mengalami pendarahan otak cukup parah,”

”Pihak rumah sakit, sudah berusaha semampunya. Namun rencana Tuhan berbeda. Sekarang, jenazah berada di RSUD Pelita Harapan. Saya harap anda bersabar dan meneima cobaan ini dengan ikhlas,”

Cukup panjang Mustofa menjelaskan keadaan Idris, namun otak Tutik pun sanggup lagi merespon telepon Mustofa dari seberang sana. Kecuali sepenggal kalimat yang menyatakan bahwa Mohammad Idris, suaminya telah berpulang ke Rahmutullah.

Tutik pun mematung sesaat setelah menerima kabar duka tersebut. Genggam telepon dibiarkannya menjuntai ke lantai rumah. Belum sempat pula bibir mungilnya mengucapkan Innalillahi atas berpulang suaminya, namun kesedihan yang teramat mendalam telah menyelimuti dirinya saat itu. Buliran air mata kesedihan, karena ditinggal oleh sang kekasih hati tak dapat tertahankan lagi. Air mata Tutik pun tumpah ruah membasahi pipinya. Sejenak saraf otak kanannya bekerja memberi perintah untuk Tutik merenung berpikir.

“Apakah ini pertanda dikabulkannya doa yang ia panjatkan di penghujung malamnya?”

Wallahualam

Surabaya 5 April 2009 

5 Komentar »

Mentari Eidelwiess

“Sinarmu memang tak menyilaukan, namun telah meluluhkan hati yang beku ini”

Mungkin memang sudah menjadi tradisi dan kodrat perempuan untuk tetap menunggu. Menunggu pangeran berkuda, yang akan membawanya mengurangi birunya lautan kehidupan. Begitulah pula yang dirasakan Lasi. Seorang perempuan yang umurnya memang tak lagi belia bahkan sudah boleh dikatakan dewasa. namun tak jua, ada kumbang yang mendekatinya walau hanya sekedar singgah untuk mengagumi keindahannya.

Bukan karena ia tak memikat karena bunga desa itu tak lagi ada di pematng sawah yang jauh dari penghisap madu. Justru kini, ia berada dikerumunan taman kumbang, dimana setiap kumbang meahlian masing-masing. tapi apa boleh dikata, pengeran berkuda bahkan sang kumbang tak jua sianggah pada muara hatinya.

“Gimana las, kapan kamu akan memeperkenalkan “teman” mu ke Tante?”

Ouwh, masih belum tante, Lasi masih sibuk dengan tugas kuliah. Jadi belum sempet mikir ke arah sana,” jawab Lasi dengan lihai, manakala keluarga besarnya meanyakan hal yang sam, di setiap pertemuan keluarganya.

Padahal sebenarnya hatinya miris, terpojokkan seakan-akan bunga desa tak jua laku. tapi menit berganti jam jam pun telah tergantikan oleh hari dan seterusnya. namun hal itu tak lagi menajdi barang mewah yang menyita banyak pikiran lagi.

Irama kehidupan terus Lasi lakoni walau tak ada pujangga yang menemani. walaupun disekelilingnya dikerumuni oleh beragam species kumbang namun benar-benar tak ada yang hinggap, hingga hembusan kabara angin terdengar.

” Las lo, pacaran yach ma zaky, deket banget sich,bener-bener soulmete,” ungkap Ingga teman akrabnya di waktu jam-jam kosong kuliah.

“Aah…ngaco kamu. lasi ma zaky cuma temen. kebetulan kami ngambil bidang yang sama di jurusan. jadi mau nggak mau tetep aja berurusan ma dia,” sanggah Lasi datar.

Memang dengan kasat mata, keduanya nampak lebih mirip menjadi sepasang kekasih daripada seorang teman. Keakraban keduanya sangat dekat. namun lagi, tak ada perekat yang mengikat keduanya melainkan sebuah pertalian persahabatan.

Tapi perempuan tetaplah perempuan. Memang sudah kodratnya, ia diciptakan dari tulang yang bengkok. Mersa nyaman jika ada tempat berlabuh, mencurahkan segala keluh kehidupan. Tersanjung karena pujian-pujian kecil, merasa nyaman karena ada yang melindungi.

Begitupula, yang dirasakan  Lasi. Bak hangatnya mentari pagi. Sesosok pria berdarah jawa bernamakan Zaky seakan telah memberika aura baru. Walau hanya ada seutas tali tipis persahabatan yang mengikat keduanya. Hidup Lasi ada yang berubah, kadang ia bahagia senyum sumringah pun sering ditemui dalam rona wajahnya, namun tak jarang pula muka sembab karena telah bercucuran air mata di malam harinya karena ulah sang mentari pun sering kali didapati.

Sering pula, Lasi bertanya pada dirinya sendiri, sesering teman-teman-teman kampus yang menanyakan pertalian anatara dirinya dan Zaky. Tapi Lasi tetep keukeh dengan pendirian bahwa saat hanya ada benang tipis yang mengikatkan keduanya, yakni sebuah pertalian persahabatan. karena lagi tak ingin menjadi tupai yang jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Tapi mentari tetaplah mentari, hangatnya sinar mentari yang lembut itu hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang beruntung, yang selalu terjaga di pagi hari. Sekejap memang kehangatan itu terasa, namun ia menyimpan seribu bahasa kelembutan. Mentari yang menggantikan bulan yang tak lagi bercahaya karena gelapnya malam yang menyelimuti.

Walau demikian adanya, lasi tetap merasa bersyukur, walau hanya dapat bersahabat dengan Zaky, sang mentari paginya. Karena setidaknya (Lasi, Red) benar-benar tak sendiri lagi.

“Mentari pagi,
eidelwiess tetap menunggu pagi sinarmu.
walau itu hanya sekejap diri rasakan tapi itu bermakana,
diri ini pun berharap, sinar mentai itu tak menguap begitu saja,  hingga diri ini tak lagi menjadi eidelwiss yang lagi sendiri”

Tinggalkan komentar »

XL, Aktifkan Ekonomi Camplong

Sekitar tahun 90an, Desa Camplong tak jauh beda dengan desa-desa yang lainnya. Desa kecil itu hanya berhunikan beberapa kelompok kecil saja. Daratannya pun masih asri, jauh dari kata polusi. Bahkan desa yang terletak berseberangan dengan pesisir pantai Camplong ini, segarnya udara masih dapat dihirup dengan bebas. Bahkan sejauh ata memandang, tak banyak yang dapat dilihat selain hamparan sawah yang menghijau dengan padi dan tanaman palawijanya.

Di desa nun kecil itu tak banyak bangunan rumah yang dapat ditemui, karena jarak antar rumah yang satu dengan yang lainnya saling berjejauhan. Sarana transportasi yang ada di desa itu pun minim. Hanya orang yang beruang lah yang memiliki kendaraan motor ataupun sepeda ontel. Karena kebanyakan penduduk didesa ini, masih mengandalkan kekuatan kedua kakinya sebagai sarana transportasinya. Tak peduli harus berapa meter yang akan mereka lalui nantinya.

Rutinitas penduduk kembali hidup ketika fajar mulai terbit di ufuk timur, hingga serta merta pula penduduk desa itu beramai-ramai untuk pergi ke sawah masing-masing dengan membawa cangkul dan bekal secukupnya. Dan bagi mereka yang tak memiliki sawah sendiri, mereka akan bahu-membahu mengerjakan sawah tetangganya. Nilai kegotong-royangan masih sangat kental di desa ini. Seakan tidak pernah mengenal kejenuhan, rutinitas seperti ini terus mereka lakoni hingga petang menjelang.

Begitu cerita salah satu penghuni pribumi desa camplong ini. “Tak banyak rutinitas yang dapat kami kerjakan disini, selain bertani dan mungkin bagi yang punya perahu dia akan melaut yang tapi hasilnya pun tak cukup buat makan anak isteri. Akan tetapi rutinitas masyarakat desa ini mulai bergairah semenjak listrik masuk desa kami. Bersamaan dengan masuknya sarana telekomunikasi di desa ini, mulai dari telepon rumah hingga handphone,” kata Zainal, Mantan Kepala desa, yang telah dua kali menjabat ini.

Desa yang bersebelahan dengan pesisir pantai camplong ini, memiliki geografis yang kurang baik. Sehingga penanaman kabel telepon rumah pun sulit dilakukan. Kebanyakan pemilik telepon rumah adalah mereka yang rumahnya berada di samping jalan raya utama. Begitu pula dengan pemilik handphone, karena pada awal tahun 90an harga sebuah handphone masih mahal. “Awalnya hanya para penduduk yang kerabatnya bekerja sebagai TKI yang memiliki handphone, dan handphone itu mereka dapatkan dari kiriman saudaranya.Rata-rata handphone itu mereka gunakan untuk bertukar kabar dengan sanak saudaranya yang menjadi TKI di Malaysia dan Saudi Arabia,” jelas pria yang telah berusia 86 tahun ini.

Seakan tak ada sekat pembatas antara si kaya dan si miskin. Penduduk di desa yang masih satu wilayah dengan Kabupaten sampang ini, sering kali berbagi, tolong-menolong antar sesama. “satu yang tidak berubah, pangguyuban masyarakat di desa ini masih sangat kental. Masyarakat disini seakan tak pernah merugi, walaupun tetangganya sering kali menyambanginya hanya sekedar meminjam hp guna menanyakan hasil taninya yang dijual di luar daerah pada koleganya,” tandas seorang warga dengan logat Madura yang khas.

Dengan adanya komunikasi dua arah ini, mengejar ketertinggalan dengan desa yang lain mulai terlihat. Geliat perekonomian mulai tumbuh setahap demi setahap. “Tak hanya kami gunakan untuk berhubungan dengan famili, kami juga gunakan untuk memasarkan hasil tani kami ke Surabaya dan sekitarnya,” terang Usman, salah seorang petani jambu air yang telah menjadi tuan di daerahnya sendiri.

Memang tak dapat dipungkiri, bahwasanya dengan adanya handphone walaupun masih belum mendominasi di daerah ini, perekonomian yang dulunya hanya remang-remang ini, kini mulai terlihat geliatnya.
Padahal sebelumnya, perekonomian di desa ini boleh dikatakan redup. Penduduk hanya hidup dengan mengandalkan hasil pekarangan yang tidak seberapa. Walaupun pernah juga hasil bumi mereka melimpah hingga pernah mereka pasarkan ke Ibukota di Kabupaten, namun hasilnya pun tak dapat menutupi kebutuhan hidup mereka. Tapi dengan adanya handphone memberikan kemudahan bagi penduduk setempat.

Dan imbasnya pun semakin dirasakan oleh penduduk desa yang letaknya Kabupaten Sampang ini makin banyak. Awalnya handphone menjadi barang mahal dan kepemilikannya pun hanya orang-orang tertentu, kini mulai dimiliki banyak orang. Seperti menemukan oase di tengah luasnya padang pasir. Dengan harga telepon yang kini bisa dijangkau hampir setiap elemen masyarakat ditambah dengan adanya regulasi pemerintah untuk menurunkan tarif telepon seluler. Sangat memudahkan penduduk desa Camplong untuk melakukan perekonomian guna meningkatkan tarafi hidupnya.

“Alhamdulillah kehidupan kami sekarang berkecukupan. Sekarang kami tidak perlu lagi pulang pergi untuk menawarkan jambu air kami ke Surabaya. Banyak orang yang sudah jatuh hati dengan jambu air dari pekarangan saya. Saat ini rata-rata mereka langsung memesannya via telepon bahkan ada pula yang hanya meng-sms ke hp saya,” terang Usman bangga.

Tak hanya Usman dan petani lain yang merasakan perubahan kemajuan dengan adanya komunikasi dua arah di Desa Camplong. Hal senada turut dirasakan Kodir. Pemilik Kios isi ulang pulsa yang bernama “Rizki”. Memang kios yang dimiliki Kodir tak cukup luas, hanya berukuran 3×5 m2. Akan tetapi di kios yang hampir seluruh dindingnya di penuhi dengan poster berwarna orange dan biru yang bertuliskan “XL, jangkaun Luas, tarifnya termurah ke semua operator” lengkap dengan Luna maya sebagai bintangnya, setiap harinya Kodir bisa meraup laba kurang lebih Rp 150.000. “Memang hanya voucher isi ulang bebas dan Jempol yang laku disini dibanding dengan yang lainnya. Jadi jangan heran, poster-poster seperti banyak disini,” Ujar Kodir yang telah tiga tahun menekuni usaha jasa isi ulang pulsa ini.

Berjualan jasa pelayanan seperti ini, Kini Kodir mampu menafkahi keluarganya dari hasil laba dari Kiosnya dan juga hasil taninya. Bahkan pemilik nama lengkap Kodir Ali ini sudah bisa memperkerjakan tetangganya yang pengangguran untuk turut menjaga kiosnya. padahal sebelumnya KOdir ak ubahnya dengan kebanmyakan pemuda yang lainnya di Desa Camplong. yang keseharinnya luntang-lantung di jalanan karena tak memilki pekerjaan yang tetap.

Keberhasilan pria yang telah berusia 40 tahun ini juga turut diikuti oleh penduduk lainnya. Karena tergiur dengan keberhasilan KOdir masyarakat di Desa Camplongmulai mengikuti jejak Kodir untuk mendirikan Kios yang serupa.

Memang tak dapat dipungkiri, mayoritas penduduk di Desa Camplong masih didominasi oleh pengguna kartu GSM dari Pt Excelcomindo Pratama atau yang lebih familiar dengan nama XL. Selain karena hasil suara yang dihasilkan lebih jernih dan tarifnya yang juga lebih miring. Menggunakan XL merupakan kepoercayaan. Kepercayaan yang ditaruh masyarakat untuk tetap setiap setia menggunakan XL di telepon selulernya. Salah satunya adalah Usman yag tetap setia menggunakan pro XL selama kurang lebih tujuh tahun guna berkomunikasi dengan sanak famili dan koleganya. “Kami sekeluarga, menggunakan kartu yang sama, XL sinyal jelas untuk adaerah terpencil seperti disini, jadi hubungan jual menjual tetap bisa lancar,” paparnya.

Dengan adanya komunikasi dua arah di Desa Camplong telah memberikan warna kehidupan yang baru. Karena kini di Desa Camplong tak lagi sunyi sepi. Di tengah-tengah negeri ini masih memiliki kurang lebih 180 Kabupaten yang masih berkategori kabupaten tertinggal. Perlahan tapi pasti, penduduk Desa camplong mulai mengejar ketertinggalannya hingga kesejahteraan pun mulai dirasakan penduduk setempat. Tak pelak juga, membawa nama Kabupaten Sampang di masyarakat luas, karena hasil bumi yang telah dihasilkan daerah Camplong telah menjadi icon tersendiri di Kabupaten Sampang. Hal ini dibuktikan dengan adanya logo jambu air yang terletak di pusat Ibukota di Kota Kabupaten Sampang. Karena masyarakat luas telah mengakui keunggulan hasil bumi dari daerah Camplong.

Dan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik di Kabupaten Sampang menunjukkan angka kemiskinan dan jumlah tenaga penganggueran mulai berkurang. Terlebih dengan hadirnya XL yang telah mendominasi, karena telah dipercaya penduduk desa Camplong tak hanya sebagai sarana komunikasi dengan kerabata tetapi pula difungsikan sebagai stimulus untuk membangkitkan perekonomian di desanya.

Penulis adalah

Siti Makkatur Rohmah
Mahasiswa Fisika
FMIPA ITS

Tinggalkan komentar »

Mata Elang Itu Membius…

Surabaya 30 Oktober

Awalnya diri ini merasakan tak ada yang teristimewa untuk minggu ini. Selain memunaikan kewajiban-kewajiban yang telah menyita seluruh pikiran diri ini. Di hari itu, seperempatnya telah diri ini lalui dan kesemuanya sama seperti biasa.Tak ada teristimewa.

Jengah dengan keadaan yang sama. Akhirnya diri ini memutuskan untuk merehatkan diri ini sejenak di rumah singgah selama berjuang di Kampus Perjuangan. Dan setelah cukup lama, merehatkan beban pikiran serta merta pula diri ini untuk bergabung lagi dengan mereka. Keluarga kedua di kota Pahlawan.

Lagi, tak ada yang teristimewa. Tiap insan sibuk dengan kepentingan masing-masing. Hanya bunyi tuts keyboard yang terdengar. Bosan. Jengah. Pasti. Hingga pertemuan kecil itu baru dimulai ketika terik matahari telah menyingsing.

Lagi, lagi. Tak ada yang teristimewa. Pertemuan itu masih tetap sama. Gelak canda dan tawa hangatnya keakraban tiap insan masih tetap sama. Langgeng. (Alhamdulillah, semoga untuk selamanya). Tapi seketika jua di sela-sela pertemuan itu diri ini merasakan ada yang teristimewa. Walaupun itu tak berlangsung lama. Mungkin bagi yang lain itu tak bermakna namun bagi diri ini kala itu amat berarti.

Sorot mata elang itu sangat tajam. Diri ini merasakannya. Di kala sepersekian detik mata sayu ini sempat beradu pandang dengan mata elanng itu. Langsung seketika pertanyaan dalam benak diri ini pun bermunculan.

“Apa maksud dengan tatapan itu?, Apakah sudah lama dirinya memandangi diri ini?, Adakah yang salah dari diri ini?, Mengapa mata elang itu menatap diri ini setajam itu???”

Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Di tenngah menjemukannya pertemuan siang itu, diri ini pun tenggelam dengan pertanyaan yang tak jua diri ini temukan jawabannya. Hingga kekonyolan-kenyolann kecil dari pertemuan itu membangunkan diri dari lamun yang tak berujung.

Hingga untuk kedua kalinya, diri ini menemukan lagi mata elang itu lekat menatap diri. Seakan membius mangsanya, tatapan itu taja, tapi tak banyak orang yang tahu.

Duhai…Elang….

Adakah yang dirimu sembunyikan…

Jika, firasat ini benar….

Beri tahukan apa rahasia itu….

Agar diri ini tak semakin larut dengan tanya…..

(NB:Terinspirasi dari suatu kisah seorang teman)

2 Komentar »